Namanya asing, aku bahkan baru mengetahuinya hari ini.
Ia tidak sekolah hari ini. Semalam ia wafat.
“Sakit, sudah sebulan di rumah sakit.”
“Oh, ya? Sakit apa?” tanyaku.
“Entahlah, katanya sih, tyfus ....”
Sekolah kami sepi bukan main. Semua orang melayat ke rumah Febrianto, setidaknya begitu yang disampaikan teman-teman di depanku.
“Siapa tadi namanya? Febriansyah?”
“Febrianto!”
Aku benar-benar merasa aneh hari ini. Siapa sebenarnya Febrianto? Aku sama sekali tak mengenalnya!
“Dia kan, pacarnya Linda!”
“Linda yang ....”
“Iya, Linda yang itu!”
Ya, siapa tidak mengenal linda. Dia bukan siswi paling cantik di sekolah ini, tapi siswi populer macam itu pasti dikenal banyak siswa.
“Oh, ya? Aku baru tahu ....”
Mereka tertawa kecil, seolah bertanya ke mana saja aku selama ini. Namun kemudian aku berdalih, memangnya siapa dia sehingga aku harus mengenalnya? Lagipula siswa di sekolah ini kan, ratusan, tidak mungkin aku mengenal semuanya, kan?
Tapi bagaimana pun juga ini tetap saja aneh. Dari sekian banyak orang di sekolah ini, hampir semuanya mengenal Febrianto, buktinya hampir setiap siswa melayat ke rumahnya. Bahkan sahabat terdekatku pun mengenalnya. Walau aku mungkin saja bukan satu-satunya orang yang tidak mengenal Febrianto, tapi aku merasa bertanya-tanya sebenarnya siapa dia sehingga ia begitu dikenal dan kini hampir setiap siswa menjenguknya? Bahkan pacarnya adalah siswi yang cukup populer di sekolah? Apa lagi sih, yang tidak kuketahui?
“Apa kita akan menjenguknya juga?” tanyaku, ketika kulihat kondisi sekolah telah benar-benar sepi. Kukira, bahkan hanya tinggal kami berenam yang tersisa.
Salah seorang sahabatku kemudian menjawab, “Tak perlu-lah. Sudah terlalu banyak yang pergi ke sana. Nanti bukannya terhibur, keluarganya malah dibuat repot oleh kehadiran kita. Apalagi kita tidak begitu mengenalnya. Terutama kamu, kan?!”
Aku tersenyum kecil.
“Jadi ..., sekarang kita pulang saja?” tanyaku lagi. Kukira sekolah benar-benar kosong. Bahkan para guru pun tak nampak. Lantas mau apa lagi? Lagipula kami sudah kelas tiga, hanya tinggal menunggu ujian pekan depan. Materi pelajaran telah habis semua. Para guru begitu giatnya memberikan pengayaan kepada kami. Bahkan belajar di luar jadwal sekolah pun dilakukan agar tidak ada yang tidak lulus nantinya.
Terus terang saja, aku stress akhir-akhir ini. Jika saja aku tidak mengalami ini bersama yang lain, mungkin aku akan benar-benar gila!
“Nanti saja, mungkin beberapa menit lagi mereka kembali,” ujar sahabatku yang lain.
“Ah, tidak mungkin kembali, mereka pasti langsung pulang!” bantahku.
Kemudian ia menampakkan gelagat ‘entahlah’ dengan mengangkat pundaknya.
Uh, terlalu lama di sini akan membuatku gila! Benar-benar gila! Bayang-bayang ujian sudah di depan mata dan siap menerkam siapa saja yang melalaikan waktunya tidak untuk belajar. Sehingga justru itu sendiri yang membuat aku bertambah stress!
Namun kegilaanku segera lenyap begitu pikiranku kembali terpaut pada Febrianto. Aku mulai menebak-nebak wajah-wajah tanpa nama di dalam ingatanku yang sekiranya cocok untuk menyandang nama Febrianto.
Aku memiliki sebuah teori yang menyatakan bahwa nama seseorang pasti sangat cocok dengan wajah orangnya. Walau kadang terbantahkan. Misalnya saja, orang dengan nama keren pasti wajahnya ganteng. Pada kenyataannya, nama keren tak melulu berwajah ganteng!
Namun ternyata nihil. Aku tak mampu memetakan wajah-wajah yang mampu kuingat untuk nama Febrianto. Maka, hari itu, aku melewati hari dengan mengingat Febrianto cukup sampai pintu gerbang sekolah. Setelah beberapa menit berlalu dan akhirnya kami pulang, Febrianto segera saja hilang tenggelam dan tak muncul lagi sampai buku tahunan kami dibagikan.
Buku tahunan atau buku kenangan kami tidak lebih bagus dari buku tahunan-buku tahunan sekolah lain. Bahkan bisa dikatakan seadanya.
Dalam buku itu, hanya ada sedikit biodata kami, juga kesan-pesan selama kami sekolah di sini. Biasanya buku itu dibagikan pada saat acara kelulusan. Termasuk saat ini. Aku mendapatkannya pun pada saat kelulusan, sama halnya dengan teman-teman yang lain.
Sambil menikmati acara kelulusan yang membosankan—hanya diisi oleh lagu-lagu yang banyaknya aku tak suka, beberapa teman kami menyumbangkan sebuah atau dua buah lagu lengkap dengan grup band mereka—aku mulai membolak-balik halaman buku tahunan. Dimulai dengan membaca bagian teman-teman terdekat, selebihnya secara acak saja.
Saat itulah aku kembali menemukan nama Febrianto yang sebenarnya memang telah menguap entah kemana dari kepalaku.
Kuperhatikan wajahnya. Benar-benar berusaha memerhatikan secara detail gurat-gurat asing dan rambut ikal itu. Ternyata aku memang tak pernah mengenalnya. Kucoba mencari di dalam lemari memoriku pun tetap saja tidak tersimpan wajah ini di sana. Bahkan kukira kami tak pernah saling menyapa. Ya ..., mungkin saja pernah bertemu sekali atau dua kali, tapi itu hanya pertemuan sambil lalu yang tak mampu memberikan kesan mendalam sehingga membuatku mampu mengingatnya. Kukira, bukan hanya aku yang seperti itu padanya, dia juga mungkin saja seperti itu padaku. Mungkin memang kami tak memiliki kesamaan dunia yang dapat kami bagi.
Tapi tetap saja perasaan aneh itu muncul lagi ketika mengetahui bahwa teman seangkatan kami ada yang meninggal. Terutama saat ini, saat dimana kami menikmati kelulusan bersama-sama.
Saat ini, entah mengapa, hatiku terasa dingin dan merinding.
Kubaca namanya, tanggal lahirnya, alamatnya, sampai kesan dan pesan yang ia tulis. Tulisannya begitu sederhana. Kukira itu bukan omong kosong. Karena tulisan itu memiliki energi. Sehingga dapat kurasakan bahwa Febrianto bukan siswa yang sebelumnya sempat menjadi prasangkaku—aku mengira dia siswa yang agak nakal dan memiliki pergaulan di atas “level”ku karena ia bahkan berpacaran dengan siswi populer.
Isi pesannya singkat dan tak main-main, bahkan terkesan serius—seperti halnya yang lain dan punyaku yang lebih banyak guyonan dan terkesan kurang serius. Seolah-olah, ketika ia menulisnya saat itu, ia mengetahui bahwa ia tidak akan pernah sempat membaca tulisan ini di dalam buku tahunan kami.
Sejenak aku mulai banyak memikirkannya. Bahkan gendrang-gendring suara musik terasa senyap di telingaku. Aku memang tak pernah mengenalnya. Saat ini pun tak ada keinginan yang besar untuk mengenalnya. Namun namanya tak mudah lepas dari pikiranku.
Bahkan, ketika akhirnya aku bertanya pada beberapa orang mengenai dirinya, mereka berkata bahwa ia hanya seorang siswa biasa yang selalu berlaku biasa—itulah mungkin yang menjadi asalan mengapa selama ini aku tidak mengenalnya. Ia berteman secara biasa dengan orang-orang biasa. Bahkan senyumnya dalam foto ini pun biasa saja—tidak memesona atau bahkan menghanyutkan setiap orang yang melihatnya.
Lantas mengapa ia begitu dikenal dan kami benar-benar begitu kehilangan dirinya ketika ia wafat?
“Mungkin ..., karena setiap orang berpikiran seperti itu terhadapnya ...,” jawab salah seorang sahabatku.
Dahiku mengerut.
Seolah tahu bahwa jawaban itu belum dapat kupahami, sahabatku kembali berujar, “setiap orang menganggapnya biasa ....”
Tiba-tiba saja jawaban itu membuatku tersenyum, dan menyadari bahwa justru akulah yang asing
Ia tidak sekolah hari ini. Semalam ia wafat.
“Sakit, sudah sebulan di rumah sakit.”
“Oh, ya? Sakit apa?” tanyaku.
“Entahlah, katanya sih, tyfus ....”
Sekolah kami sepi bukan main. Semua orang melayat ke rumah Febrianto, setidaknya begitu yang disampaikan teman-teman di depanku.
“Siapa tadi namanya? Febriansyah?”
“Febrianto!”
Aku benar-benar merasa aneh hari ini. Siapa sebenarnya Febrianto? Aku sama sekali tak mengenalnya!
“Dia kan, pacarnya Linda!”
“Linda yang ....”
“Iya, Linda yang itu!”
Ya, siapa tidak mengenal linda. Dia bukan siswi paling cantik di sekolah ini, tapi siswi populer macam itu pasti dikenal banyak siswa.
“Oh, ya? Aku baru tahu ....”
Mereka tertawa kecil, seolah bertanya ke mana saja aku selama ini. Namun kemudian aku berdalih, memangnya siapa dia sehingga aku harus mengenalnya? Lagipula siswa di sekolah ini kan, ratusan, tidak mungkin aku mengenal semuanya, kan?
Tapi bagaimana pun juga ini tetap saja aneh. Dari sekian banyak orang di sekolah ini, hampir semuanya mengenal Febrianto, buktinya hampir setiap siswa melayat ke rumahnya. Bahkan sahabat terdekatku pun mengenalnya. Walau aku mungkin saja bukan satu-satunya orang yang tidak mengenal Febrianto, tapi aku merasa bertanya-tanya sebenarnya siapa dia sehingga ia begitu dikenal dan kini hampir setiap siswa menjenguknya? Bahkan pacarnya adalah siswi yang cukup populer di sekolah? Apa lagi sih, yang tidak kuketahui?
“Apa kita akan menjenguknya juga?” tanyaku, ketika kulihat kondisi sekolah telah benar-benar sepi. Kukira, bahkan hanya tinggal kami berenam yang tersisa.
Salah seorang sahabatku kemudian menjawab, “Tak perlu-lah. Sudah terlalu banyak yang pergi ke sana. Nanti bukannya terhibur, keluarganya malah dibuat repot oleh kehadiran kita. Apalagi kita tidak begitu mengenalnya. Terutama kamu, kan?!”
Aku tersenyum kecil.
“Jadi ..., sekarang kita pulang saja?” tanyaku lagi. Kukira sekolah benar-benar kosong. Bahkan para guru pun tak nampak. Lantas mau apa lagi? Lagipula kami sudah kelas tiga, hanya tinggal menunggu ujian pekan depan. Materi pelajaran telah habis semua. Para guru begitu giatnya memberikan pengayaan kepada kami. Bahkan belajar di luar jadwal sekolah pun dilakukan agar tidak ada yang tidak lulus nantinya.
Terus terang saja, aku stress akhir-akhir ini. Jika saja aku tidak mengalami ini bersama yang lain, mungkin aku akan benar-benar gila!
“Nanti saja, mungkin beberapa menit lagi mereka kembali,” ujar sahabatku yang lain.
“Ah, tidak mungkin kembali, mereka pasti langsung pulang!” bantahku.
Kemudian ia menampakkan gelagat ‘entahlah’ dengan mengangkat pundaknya.
Uh, terlalu lama di sini akan membuatku gila! Benar-benar gila! Bayang-bayang ujian sudah di depan mata dan siap menerkam siapa saja yang melalaikan waktunya tidak untuk belajar. Sehingga justru itu sendiri yang membuat aku bertambah stress!
Namun kegilaanku segera lenyap begitu pikiranku kembali terpaut pada Febrianto. Aku mulai menebak-nebak wajah-wajah tanpa nama di dalam ingatanku yang sekiranya cocok untuk menyandang nama Febrianto.
Aku memiliki sebuah teori yang menyatakan bahwa nama seseorang pasti sangat cocok dengan wajah orangnya. Walau kadang terbantahkan. Misalnya saja, orang dengan nama keren pasti wajahnya ganteng. Pada kenyataannya, nama keren tak melulu berwajah ganteng!
Namun ternyata nihil. Aku tak mampu memetakan wajah-wajah yang mampu kuingat untuk nama Febrianto. Maka, hari itu, aku melewati hari dengan mengingat Febrianto cukup sampai pintu gerbang sekolah. Setelah beberapa menit berlalu dan akhirnya kami pulang, Febrianto segera saja hilang tenggelam dan tak muncul lagi sampai buku tahunan kami dibagikan.
Buku tahunan atau buku kenangan kami tidak lebih bagus dari buku tahunan-buku tahunan sekolah lain. Bahkan bisa dikatakan seadanya.
Dalam buku itu, hanya ada sedikit biodata kami, juga kesan-pesan selama kami sekolah di sini. Biasanya buku itu dibagikan pada saat acara kelulusan. Termasuk saat ini. Aku mendapatkannya pun pada saat kelulusan, sama halnya dengan teman-teman yang lain.
Sambil menikmati acara kelulusan yang membosankan—hanya diisi oleh lagu-lagu yang banyaknya aku tak suka, beberapa teman kami menyumbangkan sebuah atau dua buah lagu lengkap dengan grup band mereka—aku mulai membolak-balik halaman buku tahunan. Dimulai dengan membaca bagian teman-teman terdekat, selebihnya secara acak saja.
Saat itulah aku kembali menemukan nama Febrianto yang sebenarnya memang telah menguap entah kemana dari kepalaku.
Kuperhatikan wajahnya. Benar-benar berusaha memerhatikan secara detail gurat-gurat asing dan rambut ikal itu. Ternyata aku memang tak pernah mengenalnya. Kucoba mencari di dalam lemari memoriku pun tetap saja tidak tersimpan wajah ini di sana. Bahkan kukira kami tak pernah saling menyapa. Ya ..., mungkin saja pernah bertemu sekali atau dua kali, tapi itu hanya pertemuan sambil lalu yang tak mampu memberikan kesan mendalam sehingga membuatku mampu mengingatnya. Kukira, bukan hanya aku yang seperti itu padanya, dia juga mungkin saja seperti itu padaku. Mungkin memang kami tak memiliki kesamaan dunia yang dapat kami bagi.
Tapi tetap saja perasaan aneh itu muncul lagi ketika mengetahui bahwa teman seangkatan kami ada yang meninggal. Terutama saat ini, saat dimana kami menikmati kelulusan bersama-sama.
Saat ini, entah mengapa, hatiku terasa dingin dan merinding.
Kubaca namanya, tanggal lahirnya, alamatnya, sampai kesan dan pesan yang ia tulis. Tulisannya begitu sederhana. Kukira itu bukan omong kosong. Karena tulisan itu memiliki energi. Sehingga dapat kurasakan bahwa Febrianto bukan siswa yang sebelumnya sempat menjadi prasangkaku—aku mengira dia siswa yang agak nakal dan memiliki pergaulan di atas “level”ku karena ia bahkan berpacaran dengan siswi populer.
Isi pesannya singkat dan tak main-main, bahkan terkesan serius—seperti halnya yang lain dan punyaku yang lebih banyak guyonan dan terkesan kurang serius. Seolah-olah, ketika ia menulisnya saat itu, ia mengetahui bahwa ia tidak akan pernah sempat membaca tulisan ini di dalam buku tahunan kami.
Sejenak aku mulai banyak memikirkannya. Bahkan gendrang-gendring suara musik terasa senyap di telingaku. Aku memang tak pernah mengenalnya. Saat ini pun tak ada keinginan yang besar untuk mengenalnya. Namun namanya tak mudah lepas dari pikiranku.
Bahkan, ketika akhirnya aku bertanya pada beberapa orang mengenai dirinya, mereka berkata bahwa ia hanya seorang siswa biasa yang selalu berlaku biasa—itulah mungkin yang menjadi asalan mengapa selama ini aku tidak mengenalnya. Ia berteman secara biasa dengan orang-orang biasa. Bahkan senyumnya dalam foto ini pun biasa saja—tidak memesona atau bahkan menghanyutkan setiap orang yang melihatnya.
Lantas mengapa ia begitu dikenal dan kami benar-benar begitu kehilangan dirinya ketika ia wafat?
“Mungkin ..., karena setiap orang berpikiran seperti itu terhadapnya ...,” jawab salah seorang sahabatku.
Dahiku mengerut.
Seolah tahu bahwa jawaban itu belum dapat kupahami, sahabatku kembali berujar, “setiap orang menganggapnya biasa ....”
Tiba-tiba saja jawaban itu membuatku tersenyum, dan menyadari bahwa justru akulah yang asing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar